Menurut dongeng bahwa pada zaman dahulu di pantai selatan Pulau Lombok
terdapat sebuah kerajaan yang bernama Tonjang Beru. Sekeliling di
kerajaan ini dibuat ruangan - ruangan yang besar. Ruangan ini digunakan
untuk pertemuan raja - raja. Negeri Tonjang Beru ini diperintah oleh
raja yang terkenal akan kearifan dan kebijaksanaannya Raja itu bernama
raja Tonjang Beru dengan permaisurinya Dewi Seranting. Baginda mempunyai
seorang putri, namanya Putri Mandalika. Ketika sang putri menginjak
usia dewasa, amat elok parasnya. Ia sangat anggun dan cantik jelita.
Matanya laksana bagaikan bintang di timur. Pipinya laksana pauh
dilayang. Rambutnya bagaikan mayang terurai. Di samping anggun dan
cantik ia terkenal ramah dan sopan. Tutur bahasanya lembut. Itulah yang
membuat sang putri menjadi kebanggaan para rakyatnya. Tradisi menangkap
Nyale (bahasa sasak Bau Nyale) dipercaya timbul akibat pengaruh keadaan
alam dan pola kehidupan masyarakat tani yang mempunyai kepercayaan yang
mendasar akan kebesaran Tuhan, menciptakan alam dengan segala isinya
termasuk binatang sejenis Anelida yang disebut Nyale. Kemunculannya di
pantai Lombok Selatan yang ditandai dengan keajaiban alam sebagai rahmat
Tuhan atas makhluk ini. Beberapa waktu sebelum Nyale keluar hujan turun
deras dimalam hari diselingi kilat dan petir yang menggelegar disertai
dengan tiupan angin yang sangat kencang. Diperkirakan pada hari keempat
setelah purnama, malam menjelang Nyale hendak keluar, hujan menjadi
reda, berganti dengan hujan rintik - rintik, suasana menjadi demikian
tenang, pada dini hari Nyale mulai menampakkan diri bergulung - gulung
bersama ombak yang gemuruh memecah pantai, dan secepat itu pula Nyale
berangsur - angsur lenyap dari permukaan laut bersamaan dengan fajar
menyingsing di ufuk timur. Dalam kegiatan ini terlihat yang paling
menonjol adalah fungsi solidaritas dan kebersamaan dalam kelompok
masyarakat yang dapat terus dipertahankan karena ikut mendukung
kelangsungan budaya tradisional. Keajaiban Nyale bagi suku Sasak Lombok
telah menimbulkan dongeng tentang kejadian yang tersebar hampir
keseluruh lapisan masyarakat Lombok dan sekitarnya. Dongeng ini sangat
menarik dengan cerita yang sangat romantis dan berkembang melalui
penuturan orang - orang tua yang kemudian tersusun dalam naskah tentang
legenda Nyale.
Cerita Rakyat Jawa Barat
Asal Mula Kota Cianjur Konon, di suatu daerah di Jawa Barat, sekitar
daerah Cianjur, hiduplah seorang lelaki yang kaya raya. Kekayaannya
meliputi seluruh sawah dan ladang yang ada di desanya. Penduduk hanya
menjadi buruh tani yang menggarap sawah dan ladang lelaki kaya tersebut.
Sayang, dengan kekayaannya, lelaki tersebut menjadi orang yang sangat
susah menolong, tidak mau memberi barang sedikitpun, sehingga warga
sekelilingnya memanggilnya dengan sebutan Pak Kikir. Sedemikian
kikirnya, bahkan terhadap anak lelakinya sekalipun. Di luar
sepengetahuan ayahnya, anak Pak Kikir yang berperangai baik hati sering
menolong orang yang membutuhkan pertolongannya. Salah satu kebiasaan di
daerah tersebut adalah mengadakan pesta syukuran, dengan harapan bahwa
panen di musim berikutnya akan menjadi lebih baik dari panen sebelumnya.
Karena ketakutan semata, Pak Kikir mengadakan pesta dengan mengundang
para tetangganya. Tetangga Pak Kikir yang diundang berharap akan
mendapat jamuan makan dan minum yang menyenangkan. Akan tetapi mereka
hanya bisa mengelus dada manakala jamuan yang disediakan Pak Kikir hanya
ala kadarnya saja, dengan jumlah yang tidak mencukupi sehingga banyak
undangan yang tidak dapat menikmati jamuan. Diantara mereka ada yang
mengeluh,”Mengundang tamu datang ke pesta, tapi jamuannya tidak
mencukupi! sungguh kikir orang itu”. Bahkan ada yang mendoakan yang
tidak baik kepada Pak Kikir karena kekikirannya tersebut. Di
tengah-tengah pesta, datanglah seorang nenek tua renta, yang langsung
meminta sedekah kepada Pak Kikir. “Tuan, berilah saya sedekah dari harta
tuan yang berlimpah ini”, kata sang nenek dengan terbata-bata. Bukannya
memberi, Pak Kikir malah menghardik nenek tersebut dengan ucapan yang
menyakitkan hati, bahkan mengusirnya. Dengan menahan sakit hati yang
sangat mendalam, nenek tersebut akhirnya meninggalkan tempat pesta yang
diadakan Pak Kikir. Sementara itu, karena tidak tega menyaksikan
kelakuan ayahnya, anak Pak Kikir mengambil makanan dan membungkusnya.
Kemudian dengan sembunyi-sembunyi dia mengikuti si nenek tersebut hingga
di ujung desa. Makanan tersebut diserahkannya kepada sang nenek.
Mendapatkan makanan yang sedemikian diharapkannya, sang nenekpun
memakannya dengan lahap. Selesai makan, dia mengucapkan terima kasih dan
mendoakan anak Pak Kikir agar menjadi orang yang hidup dengan
kemuliaan. Kemudian dia melanjutkan perjalanannya hingga tibalah di
salahsatu bukit yang dekat dengan desa tersebut. Dari atas bukit, dia
menyaksikan satu-satunya rumah yang paling besar dan megah adalah rumah
Pak Kikir. Mengingat apa yang dialaminya sebelumnya, maka kemarahan sang
nenek kembali muncul, sekali lagi dia mengucapkan doa agar Pak Kikir
yang serakah dan kikir itu mendapat balasan yang setimpal. Kemudian dia
menancapkan tongkat yang sejak tadi dibawanya, ke tanah tempat dia
berdiri, kemudian dicabutnya lagi tongkat tersebut. Aneh bin ajaib, dari
tempat ditancapkannya tongkat tersbut kemudian mencarlah air yang
semakin lama semakin besar dan banyak, dan mengalir tepat ke arah desa
Pak Kikir. Menyaksikan datangnya air yang seperti air bah, beberapa
warga desa yang kebetulan berada dekat dengan bukitpun berteriak saling
bersahutan mengingatkan warga desa, “banjir!!!” Penduduk desa kemudian
menjadi panik, dan saling berserabutan ke sana ke mari. Ada yang segera
mengambil harta yang dimilikinya, ada yang segera mencari dan mengajak
sanak keluarganya untuk mengamankan diri. Melihat kepanikan tersebut,
anak Pak Kikir segera menganjurkan para penduduk untuk segera
meninggalkan rumah mereka. “Cepat tinggalkan desa ini, larilah ke atas
bukit yang aman” katanya memerintahkan. Dia menyuruh warga untuk
meninggalkan segala harta sawah dan ternak mereka untuk lebih
mengutamakan keselamatan jiwa masing-masing. Sementara itu, Pak Kikir
yang sangat menyayangi hartanya tidak mau begitu saja pergi ke bukit
sebagaimana anjuran anaknya. Di berpikir bahwa apa yang dimilikinya bisa
menyelematkannya. Dia tidak mau diajak pergi, walau air semakin naik
dan menenggelamkan segala apa yang ada di desa tersebut. Ajakan anaknya
untuk segera pergi dibalas dengan bentakan dan makian yang sungguh tidak
enak didengar. Akhirnya anak Pak Kikir meninggalkan ayahnya yang sudah
tidak bisa dibujuk lagi. Warga yang selamat sungguh bersedih meliaht
desanya yang hilang bak ditelan air banjir. Tetapi mereka bersyukur
karena masih selamat. Kemudian bersama-sama mereka mencari tempat
tinggal baru yang aman. Atas jasa-jasanya, anak Pak Kikirpun diangkat
menjadi pemimpin mereka yang baru. Dengan dipimpin pemimpin barunya,
warga bersepakat untuk membagi tanah di daerah baru tersebut untuk
digarap masing-masing. Anak Pak Kikirpun mengajarkan mereka menanam padi
dan bagaimana caranya menggarap sawah yang kemudian dijadikan sawah
tersebut. Warga selalu menuruti anjuran pemimpin mereka, sehingga daerah
ini kemudian dinamakan Desa Anjuran. Desa yang kemudian berkembang
menjadi kota kecil inipun kemudian dikenal sebagai Kota Cianjur.
Cerita Rakyat Bahasa Inggris
Sangkuriang Long time ago in West Java, lived a beautiful girl named
Dayang Sumbi. She was also smart and clever. Her beauty and intelligence
made a prince from the heavenly kingdom of Kahyangan desire her as his
wife. The prince asked permission from his father to marry Dayang Sumbi.
People from Kahyangan could never live side by side with humans, but
his father approved on one condition, when they had a child, the prince
would transform into a dog. The prince accepted the condition. They get
married and lived happily in the woods until Dayang Sumbi gave birth to a
baby boy. The prince then changed into a dog named Tumang. Their son is
named Sangkuriang. He was very smart and handsome like his father.
Everyday, he hunted animals and looked for fruits to eat. One day, when
he was hunting, Sangkuriang accidentally killed Tumang. His arrow missed
the deer he was targeting and hit Tumang instead. He went home and
tells her mother about the dog. “What?” Dayang Sumbi was appalled.
Driven by sadness and anger, she grabbed a weaving tool and hit
Sangkuriang’s head with it. Dayang Sumbi was so sad; she didn’t pay any
attention to Sangkuriang and started to cry. Sangkuriang feel sad and
also confused. How can his mother love a dog more than him? Sangkuriang
then decided to go away from their home and went on a journey. In the
morning, Dayang Sumbi finally stopped crying. She started to feel
better, so she went to find Sangkuriang. But her son was no where to be
found. She looked everywhere but still couldn’t find him. Finally, she
went home with nothing. She was exhausted. She fell asleep, and in her
dream, she meets her husband. “Dayang Sumbi, don’t be sad. Go look for
my body in the woods and get the heart. Soak it with water, and use the
water to bathe, and you will look young forever,” said the prince in her
dream. After bathing with the water used to soak the dog’s heart,
Dayang Sumbi looked more beautiful and even younger. And time passed by.
Sangkuriang on his journey stopped at a village and met and fell in
love with a beautiful girl.He didn’t realize that the village was his
homeland and the beautiful girl was his own mother, Dayang Sumbi. Their
love grew naturally and he asked the girl to marry him. One day,
Sangkuriang was going on a hunt. He asked Dayang Sumbi to fix the turban
on his head. Dayang Sumbi was startled when she saw a scar on his head
at the same place where she, years ago, hit Sangkuriang on the head.
After the young man left, Dayang Sumbi prayed for guidance. After
praying, she became convinced that the young man was indeed her missing
son. She realized that she had to do something to prevent Sangkuriang
from marrying her. But she did not wish to disappoint him by cancelling
the wedding. So, although she agreed to marry Sangkuriang, she would do
so only on the condition that he provides her with a lake and built a
beautiful boat, all in one night. Sangkuriang accepted this condition
without a doubt. He had spent his youth studying magical arts. After the
sun went down, Sangkuriang went to the hill. Then he called a group of
genie to build a dam around Citarum River. Then, he commands the genies
to cut down trees and build a boat. A few moments before dawn,
Sangkuriang and his genie servants almost finished the boat. Dayang
Sumbi, who had been spying on him, realised that Sangkuriang would
fulfill the condition she had set. Dayang Sumbi immediately woke all the
women in the village and asked them to wave a long red scarf. All the
women in the village were waving red scarf, making it look as if dawn
was breaking. Deceived by false dawn, the cock crowed and farmers rose
for the new day. Sangkuriang’s genie servants immediately dropped their
work and ran for cover from the sun, which they feared. Sangkuriang grew
furious. With all his anger, he kicked the unfinished boat. The boat
flew and landed on a valley. The boat then became a mountain, called
Mount Tangkuban Perahu (Tangkuban means upturned or upside down, and
Perahu means boat). With his power, he destroyed the dam. The water
drained from the lake becoming a wide plain and nowadays became a city
called Bandung (from the word Bendung, which means Dam).
Itulah Tadi beberapa kumpulan ataupun koleksi cerita rakyat yang saya buat kali ini, nantikan koleksi cerita rakyat versi terbaru. Secepatnya..!!!
Langganan:
Poskan Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar